Apa itu Sufi dan Tasawwuf menurut Ulama Ahlu Sunnah Wal Jama'ah part 2
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Ini lanjutan part 1 yang belum baca silahkan dibaca dulu agar tidak salah paham.. Imam Ghazali Hujjatul Islam
Imam Al-Ghazali memberikan penjelasan pendek yang menjadi pokok-pokok dalam tasawuf. Penjelasan pendek ini cukup memadai. Ia menyebutkan hablum minallah dan hablum minan nas sebagai ajaran pokok dalam tasawuf. Dua pilar utama tasawuf ini disebutkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad untuk mengenalkan dunia tasawuf dan sufi kepada anak-anak. Dua ajaran pokok dalam tasawuf ini disampaikan dengan bahasa singkat dan sederhana agar mudah dimengerti kalangan anak-anak. Meski demikian, bobot penjelasan singkat ini cukup bermanfaat juga bagi orang dewasa. Pasalnya penjelasan singkat dan sederhana ini tidak mengurangi makna tasawuf. Penjelasan sederhana itu berbunyi sebagai berikut:
ثم اعلم أن التصوف له خصلتان الاستقامة مع الله تعالى والسكون عن الخلق٬ فمن استقام مع الله عز وجل وأحسن خلقه بالناس وعاملهم بالحلم فهو صوفي
Artinya, “Ketahuilah tasawuf memiliki dua pilar, yaitu istiqamah bersama Allah dan harmonis dengan makhluk-Nya. Dengan demikian siapa saja yang istiqamah bersama Allah SWT, berakhlak baik terhadap orang lain, dan bergaul dengan mereka dengan santun, maka ia adalah seorang sufi,”
Bagi Imam Al-Ghazali, upaya menemukan inti dari tasawuf tidak sulit bagi beliau. Di karenakan, beliau memahami benar apa yang beliau sampaikan selama ini dalam karya beliau terutama Ihya Ulumiddin. Istiqamah bersama Allah baik secara lahir dan batin menuntut kebulatan hati dan kesatuan perbuatan yang sesuai garis agama Islam. Sedangkan interaksi secara baik terhadap makhluk-Nya merupakan sisi lain tasawuf yang sulit dipisahkan dari yang pertama, yaitu istiqamah. Tasawuf bukan semata persoalan lahiriah yaitu soal jubah, serban, biji tasbih, rida hijau yang diselempangkan di bahu, berjenggot, bertongkat, menunjukkan lafal tauhid, memotong celana hingga di atas mata kaki, mengubah ejaan menjadi lebih islami dalam media sosial, atau soal kekuatan ghaib akrobatik dengan berbagai kecenderungan hal ghaib. Tasawuf, bagi Imam Al-Ghazali, juga bukan fenoma hijrah lalu dipahami secara sempit sebagai tindakan meninggalkan aktivitas yang dianggap tidak islami atau uzlah menjauhi manusia dan berbagai aktivitas yang dipersangkakan haram. Adapun sufi dalam bahasa sederhana Imam Al-Ghazali adalah orang yang menjaga perilakunya untuk senantiasa taat kepada Allah lahir dan batin, serta bermasyarakat dengan kepedulian terhadap sesama. Dengan pengertian sederhana ini, setiap orang dapat menjadi atau menyandang status sufi tanpa harus mengubah penampilan dan meninggalkan aktivitas keseharian yang telah dijalani selama ini selagi tidak melanggar syariat.
Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (wafat 987 H)
dalam kitab Kifayatul Atqiya mengatakan, bahwa syariat adalah semua perintah Allah, seperti shalat, zakat, puasa haji, dan semua larangan-larangan Allah, yaitu zina, mencuri, sombong, ingin dipuji orang lain dan lainnya. Ia menegaskan:
اَلشَّرِيْعَةُ هِيَ المَأْمُوْرَاتُ الَّتِي أَمَرَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهَا وَالْمَنْهِيَاتُ الَّتِي نَهَى اللهُ عَنْهَا.
Artinya, “Syariat adalah perintah-perintah yang Allah swt memerintahkannya, dan larangan-larangan yang Allah melarang untuk melakukannya.” (Al-Malibari, Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya, [Bairut, Darul Fikr: 2001], halaman 8).
Untuk menerapkan syariat di atas, dengan melakukan semua yang diperintah dan meninggalkan semua larangan, tentu tidak ada teladan dan contoh yang benar selain mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat ketika bersama dengan Rasulullah. Setelah itu, para sahabat menjadi teladan tabiin dan tabiut tabiin dalam melakukan setiap ibadah. Selanjutnya, teladan terbaik adalah mengikuti para ulama yang memiliki sanad keilmuan yang bersambung sampai pada Rasulullah.
Akan tetapi, ada yang tidak kalah penting ketika melakukan ibadah, yaitu kebersihan hati dari setiap sifat-sifat yang bisa merusak hasil ibadah itu sendiri. Oleh karenanya, untuk bisa selamat dari sifat-sifat tercela, ilmu tasawuf juga sangat penting untuk dimengerti dan dipahami, agar semua ibadah yang dilakukan bisa diterima oleh Allah swt. Ilmu tasawuf sendiri lebih cenderung tentang urusan hati dan cara-cara membersihkannya, sebagaimana disampaikan oleh
Sayyid Murtadha Az-Zabidi:
تَطْهِيْرُ الْبَاطِنِ وَالظَّاهِرِ مِنَ الْآثَامِ الخَفِيَّةِ وَالْجَلِيَّةِ مِنْ أَوَائِلِ التَّصَوُّفِ
Artinya, “Menyucikan batin dan lahir dari dosa-dosa yang tidak jelas dan yang jelas, merupakan awal mula dari tasawuf. (Az-Zabidi, Ithafus Sadatil Muttaqin, [Bairut, Tarikh al-‘Arabi: 1994], juz VIII, halaman 477).
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Syekh Abul ‘Abbas Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Isa Zarruq Al-Fasi, (wafat 899 H) seorang ulama sufi, asal Maroko. Ia mengatakan:
التَصَوُّفُ عِلْمٌ قُصِدَ لِاِصْلَاحِ الْقُلُوْبِ وَاِفْرَادِهَا للهِ تَعَالَى عَمَّا سِوَاهُ.
Artinya, “Ilmu tasawuf adalah ilmu yang dimaksudkan untuk memperbaiki hati dan menyendirikannya (hati) hanya untuk Allah swt dari selain-Nya.” (Ahmad Zarruq al-Fasi, Qawa’idut Tasawwuf, [Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, Lebanon: 2005], halaman 25).
Dari definisi fiqih dan tasawuf di atas, dapat disimpulkan bahwa keduanya merupakan cabang ilmu yang tidak bisa dipisahkan. Fiqih mencerminkan perwujudan pengalaman iman pada aspek Dzohir, sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengalaman iman pada aspek batin. Maka sangat wajar, jika Imam Malik memosisikan ahli hakikat yang sebenarnya hanya kepada orang-orang yang sudah bisa memahami dan memadukan ilmu syariat dan tasawuf. Tidak hanya Fiqih, tidak juga hanya tasawuf.
Pendapat Imam Malik di part 1
Ungkapan di atas senada dengan pendapat Syekh Muhammad bin Muhammad bin Musthafa bin Utsman Abu Sa’id al-Hanafi (wafat 1156 H), perihal makna syariat dan tasawuf. Menurutnya, ilmu Fiqih adalah ilmu yang membahas tentang aspek lahiriah dari setiap ibadah atau pekerjaan yang dilakukan seorang hamba, sedangkan tasawuf merupakan ilmu yang membahas perihal batin seorang hamba dalam membersihkan hati mereka dari segala sifat tercela ketika melakukan ibadah.
(Abu Sa’id al-Hanafi, Bariqatu Mahmudiyah fi Syarhi Thariqati Muhammadiyah wa Syari’ati Nabawiyah, [Mathba’ah al-Halabi, 2010], juz 1, halaman 291).
Meski keduanya memiliki hubungan yang erat, Syekh Ahmad bin Muhammad Ibnu Ajibah al-Husaini (wafat 1266) dalam kitabnya memberikan garis ketentuan secara khusus perihal keduanya. Menurutnya, fiqih lebih umum daripada ilmu tasawuf karena lebih pada pekerjaan-pekerjaan yang bernilai menampakkan gambaran agama Islam.
Ibnu Ajibah mengatakan:
حُكْمُ الْفِقْهِ عَامٌ لِأَنَّ مَقْصُوْدَهُ إِقَامَةُ رَسْمِ الدِّيْنِ وَرَفْعِ مَنَارِهِ وَإِظْهَارِ كَلِمَاتِهِ وَحُكْمُ التَّصَوُّفِ خَاصٍ لِأَنَّهُ مُعَامَلَةٌ بَيْنَ الْعَبْدِ وَرَبِّهِ مِنْ غَيْرِ زَائِدٍ
Artinya, “Hukum fiqih sangat umum, karena tujuannya adalah menampakkan potret agama Islam, mengangkat aturannya, dan menampakkan kalimatnya. Sedangkan ilmu tasawuf merupakan ilmu yang khusus, karena sesungguhnya, ia merupakan interaksi antara seorang hamba dengan Tuhan-Nya tanpa perlu menambah.” (Ibnu ‘Ajibah, Iqadul Himam Syarah Matnil Hikam, [Bairut, Darul Kutubil ‘Ilmiah: 2001], halaman 21).
Kesimpulannya, melakukan semua ibadah yang diwajibkan kepada umat Islam dan meninggalkan semua maksiat yang menjadi larangan merupakan bukti dari adanya ilmu Fiqih. Ilmu yang satu ini memiliki peran yang sangat penting untuk mengatur pola ibadah yang sifatnya lahiriah. Namun, di sisi yang lain juga perlu untuk memperhatikan ibadah dari aspek batiniah, sebab tanpa tinjauan ini, meski secara syariat semua ibadah sudah benar, akan keliru jika dalam menjalankannya masih ada sifat-sifat tercela, dan hal ini hanya bisa diperbaiki dengan ilmu tasawuf sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Wallahu A’lam bisshawab.
Komentar
Posting Komentar